Oleh: Ana Farida Sahara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Menjelang akhir tahun, wajib pajak memang harus mempersiapkan diri dengan mengumpulkan data untuk pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Salah satunya adalah dengan membuat perincian unsur-unsur yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan. Pagi tadi, seorang teman yang bertanya, apakah arisan harus dilaporkan di SPT? Pertanyaan ini menarik. Tulisan ini mencoba menjelasakan posisi arisan dalam SPT Tahunan orang pribadi.
Sebelum membahasnya lebih jauh, arisan yang dimaksud di sini adalah arisan pada umumnya, di mana sekelompok orang bersepakat untuk mengumpulkan iuran arisan dengan nominal tertentu yang kemudian secara bergilir anggota kelompok arisan tersebut akan menerima uang arisan sampai semua anggota kelompok mendapatkan giliran.
SPT Tahunan pada dasarnya adalah sarana untuk Wajib Pajak melaporkan pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Hal-hal yang dilaporkan dalam SPT Tahunan antara lain adalah harta, utang, penghasilan dan tentu saja pajak. Di manakah posisi arisan?
Pajak yang dilaporkan di SPT adalah jumlah pajak terutang sesuai dengan penghasilan kita, pajak yang telah dipungut/dipotong oleh pihak lain (misalnya pemberi kerja) dan juga pajak yang sudah kita lunasi selama tahun pajak berjalan. Apakah arisan termasuk pajak? Sudah jelas bukan, arisan tidak masuk ke dalam kriteria pajak.
Bukan Penghasilan, Melainkan …
Apakah arisan masuk dalam kriteria penghasilan? Menurut sudut pandang pajak, penghasilan adalah seluruh tambahan kemampuan ekonomis. Artinya yang termasuk penghasilan adalah segala sesuatu yang menambah kemampuan wajib pajak untuk melakukan kegiatan ekonomi misalnya belanja dan menabung. Yang perlu digarisbawahi adalah kata tambahan. Apakah arisan menambah kemampuan? Ya, pada saat kita menerima arisan. Namun, hakikatnya uang –kalau arisannya uang tunai– yang kita terima tersebut adalah pengembalian dari uang kita sendiri yang kita setorkan untuk membayar arisan tersebut. Dalam hal ini, artinya tidak ada tambahan kemampuan ekonomis. Kesimpulannya, arisan juga tidak termasuk kriteria penghasilan.
Harta dan utang adalah dua hal yang saling berhubungan. Harta yang sejatinya kita miliki adalah seluruh jumlah harta dikurangi dengan seluruh jumlah utang yang kita miliki. Apakah arisan termasuk harta? Yang termasuk harta di antaranya adalah kas dan setara kas, piutang, investasi, alat transportasi, harta bergerak lainnya dan harta tidak bergerak. Sedangkan utang adalah kewajiban keuangan yang masih harus kita lunasi. Arisan memosisikan seseorang ke dalam dua posisi yaitu yang sudah mendapatkan giliran menerima arisan dan yang belum mendapatkan giliran menerima arisan. Ketika sudah menerima arisan, maka dia memiliki kewajiban membayar iuran arisan sampai dengan arisan selesai. Namun jika belum menerima arisan, maka dia memiliki piutang yang ketika gilirannya nanti akan diterima. Jadi anggota arisan memiliki harta dan utang secara bersamaan. Kesimpulannya, arisan termasuk dalam harta dan/atau utang tergantung posisi saat 31 Desember tahun pajak yang dilaporkan.
Harta dilaporkan dalam SPT Tahunan sesuai nilai perolehannya untuk selain kas dan setara kas, sehingga tidak akan berubah nilainya meskipun telah berubah tahun pajaknya. Sedang kan harta berupa kas dan setara kas serta utang, dilaporkan dalam SPT Tahunan sesuai dengan jumlah harta atau utang yang masih dimiliki pada akhir tahun pajak yang dilaporkan. Jadi berapa nilai arisan yang dilaporkan?
Arisan termasuk harta ketika dia sudah menerima uang tunai dari arisan tersebut dan termasuk utang apabila terdapat sejumlah uang yang masih harus dibayarkan ke arisan sampai arisan selesai. Logikanya hampir sama dengan pembelian barang dengan metode cicilan, namun karena arisan adalah bentuknya uang tunai, maka nilai yang dilaporkan di SPT Tahunan adalah senilai yang masih dimiliki pada akhir tahun.
Contoh pelaporan harta selain kas dan setara kas dengan cicilan:
Misalnya pada bulan November 2023 Tuan Aan membeli motor bekas milik temannya dengan harga Rp1.000.000 dengan uang muka sebesar Rp200.000 dan cicilan sebesar Rp100.000 per bulan. Pada saat melaporkan SPT Tahunan Tahun Pajak 2023, Tuan Aan akan melaporkan harta berupa motor dengan nilai Rp1.000.000 dan melaporkan utang motor senilai Rp700.000 karena sisa utang motor Tuan Aan di 31 Desember 2023 adalah sebesar itu.
Contoh pelaporan arisan pada SPT Tahunan:
Ibu Ana mengikuti arisan dengan iuran sejuta rupiah dengan penarikan satu kali dalam satu bulan dengan jumlah anggota arisan 20 orang. Arisan dimulai pada Januari 2023. Pada bulan Agustus 2023, Ibu Ana mendapatkan giliran untuk menarik uang arisannya, sehingga Ibu Ana mendapatkan uang sebesar 20 juta rupiah. Uang tersebut digunakan Ibu Ana untuk membeli sepeda motor secara tunai sebesar delapan juta rupiah, membeli kebutuhan pokok sebesar dua juta rupiah dan sisanya ditabung di bank. Maka pelaporan harta dan utang terkait arisan tersebut dalam SPT Tahunan (dengan asumsi Ibu Ana tidak memiliki harta lainnya) adalah sebagai berikut:
Jadi, kesimpulannya adalah arisan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan pada bagian harta dan utang sesuai dengan kondisi pada akhir tahun pajak yang dilaporkan.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
ARISAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Hampir seluruh penduduk diseluruh pelosok tanah air mengenal yang namanya arisan. Arisan yang berkembang di masyarakat bermacam-macam bentuknya. Ada arisan motor, arisan haji, arisan gula, arisan semen dan lain-lain. Ternyata fenomena ini juga tidak hanya di negeri ini, di negara Arab dikenal sejak abad ke sembilan hijriyah yang dilakukan oleh para wanita Arab dengan istilah jum’iyyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu at-ta’awuni, hingga kini fenomena ini masih berkembang dengan pesat. Bila demikian sudah mendunia, tentunya tidak lepas dari perhatian dan penjelasan hukum syar’i bentuk mu’amalah seperti ini oleh para Ulama. Apalagi permasalahan ini termasuk kontemporer dan belum ada sebelumnya di masa para salaful ummah dahulu. Fenomena ini demikian semarak dilakukan kaum Muslimin karena adanya kemudahan dan banyak membantu mereka serta . Bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam ?
Hakekat Arisan Kata Arisan adalah istilah yang berlaku di Indonesia. Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi diantara mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs. Poerwadarminta, PN Balai Pustaka, 1976 hlm : 57 )
Ini sama dengan pengertian yang disampaikan Ulama dunia dengan istilah jum’iyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu at-ta’awuni. Jum’iyyah al-muwazhzhafin dijelaskan para Ulama sebagai bersepakatnya sejumlah orang dengan ketentuan setiap orang membayar sejumlah uang yang sama dengan yang dibayarkan yang lainnya. Kesepakatan ini dilakukan pada akhir setiap bulan atau akhir semester (enam bulan) atau sejenisnya, kemudian semua uang yang terkumpul dari anggota diserahkan kepada salah seorang anggota pada bulan kedua atau setelah enam bulan –sesuai dengan kesepakatan mereka -. Demikianlah seterusnya, sehingga setiap orang dari mereka menerima jumlah uang yang sama seperti yang diterima orang sebelumnya. Terkadang arisan ini berlangsung satu putaran atau dua putaran atau lebih tergantung pada keinginan anggota.
Hakekat arisan ini adalah setiap orang dari anggotanya meminjamkan uang kepada anggota yang menerimanya dan meminjam dari orang yang sudah menerimanya kecuali orang yang pertama mendapatkan arisan maka ia menjadi orang yang berhutang terus setelah mendapatkan arisan, juga orang yang terakhir mendapatkan arisan, maka ia selalu menjadi pemberi hutang kepada mereka anggota.
Berdasarkan hal ini, apabila salah seorang anggota ingin keluar dari arisan pada putaran pertama diperbolehkan selama belum pernah berhutang (belum menarik arisannya). Apabila telah berhutang maka ia tidak punyak hak untuk keluar hingga selesai putaran arisan tersebut sempurna atau melunasi hutang-hutang kepada setiap anggota arisan.
Berdasarkan definisi diatas, para Ulama memberikan tiga bentuk arisan yang umum beredar di dunia; yaitu:
Hukum Arisan Secara Umum. Ada dua pendapat para Ulama dalam menghukumi arisan dalam bentuk yang dijelaskan dalam hakekat arisan di atas, tanpa ada syarat harus menyempurnakan satu putaran penuh.
Pendapat pertama mengharamkannya. Inilah pendapat Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah al-Fauzaan, Syaikh Abdulaziz bin Abdillah Alu syaikh (mufti Saudi Arabia sekarang) dan Syaikh Abdurrahman al-Barâk.
Argumentasi mereka adalah :
نَهَى النَّبِيُّ صلّ الله عليه وسلّم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli [HR Ahmad dan dihasankan Syaikh al-Albani radhiyallahu anhu dalam Irwâ’ul Ghalîl 5/149]
Itu adalah pendapat sekelompok Ulama yang pertama, sedangkan kelompok yang lain berpendapat bahwa arisan itu boleh. Inilah fatwa dari al-hâfizh Abu Zur’ah al-‘raqi (wafat tahun 826), (lihat Hasyiyah al-Qalyubi 2/258) fatwa mayoritas anggota dewan majlis Ulama besar (Hai’ah Kibaar al-Ulama) Saudi Arabia, diantara mereka Syaikh Abdulaziz bin Bâz (mufti Saudi Arabia terdahulu) dan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin serta Syaikh Abdullan bin Abdurrahman Jibrin.
Argumentasi mereka adalah:
Pendapat yang rajih Setelah melihat kepada argumentasi para Ulama diatas, penulis buku Jum’iyah al-Muwadzafin Prof. DR. Abdullah bin Abdulaziz al- Jibrin merajihkan pendapat yang membolehkan dengan alas an :
Dengan demikian jelaslah hukum Arisan tanpa syarat yang menjadi bentuk pertama ini hukumnya adalah boleh.
Hukum Bentuk Kedua yaitu Arisan dengan syarat harus sempurna satu putaran. Dalam bentuk yang kedua ini, para Ulamapun berbeda pendapat sama dengan bentuk yang pertama. Pendapat yang mengharamkannya menganalogikan (qiyâs) kepada pengharaman bentuk pertama. Sehingga argumentasi seputar pengharaman bentuk ini sama dengan bentuk yang pertama dengan ditambahkan adanya syarat tambahan syarat manfaat untuk yang menghutangkan. Syarat tambahan itu adalah adanya pihak ketiga atau lebih yang meminjamkan uangnya (dengan membayar iuran arisan tersebut). Ini tidak diperbolehkan karena riba disebabkan adanya tambahan manfaat keuntungan yang didapatkan oleh pemberi hutang.
Pendapat ini dapat dijawab bahwa syarat yang disepakati para Ulama dalam mengharamkan dan memberlakukan hukum riba pada sesuatu adalah adanya penetapan syarat manfaat berupa keuntungan yang dirasakan dan diperoleh oleh pemberi hutang dari orang yang berhutang hanya karena semata-mata hutang. Dan ini tidak ada dalam bentuk arisan ini; karena manfaat keuntungan yang disyaratkan disini tidak diberikan oleh penghutang sama sekali dan juga manfaat keuntungannya dirasakan oleh semua peserta arisan kecuali yang dapat urutan terakhir karena ia hanya memberikan hutang terus dan tidak berhutang kepada yang lainnya.
Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dan Syaikh Abdullah bin Jibrin membolehkan arisan bentuk ini.
Pendapat yang rajih Prof.DR. Abdullah ali Jibrin setelah meneliti dan menjelaskan argumentasi para Ulama seputar masalah ini, beliau mengatakan, “Belum nampak bagiku adanya faktor yang menyebabkan terlarangnya arisan yang bersyarat seperti ini. Tidak ada dalil kuat yang dapat dijadikan sandaran dalam mengharamkannya. Hukum asal dalam mu’amalat itu halal. Arisan ini memiliki manfaat untuk semua pesertanya tanpa menimbulkan madharat pada salah satu dari mereka. (Jum’iyah al-Muwadzaffin, hlm 53)
Dengan demikian bentuk kedua inipun diperbolehkan secara syariat.
Bentuk ketiga bersyarat seluruh peserta harus menyempurnakan lebih dari sekali putaran Hakekat model arisan seperti ini adalah arisan dengan syarat pemberi hutang memberikan syarat kepada orang yang akan berhutang kepada mereka untuk menghutangkan kepadanya di putaran kedua dan seterusnya.
Hukum masalah ini pun berkisar pada masalah bolehkah orang yang menghutangkan sesuatu menetapkan syarat pada yang berhutang untuk memberinya hutangan di waktu yang akan datang dan apakah syarat tersebut memberikan tambahan manfaat keuntungan pada pemberi hutang pertama ?
Yang rajih dalam bentuk ini adalah haram, karena ada padanya syarat tambahan manfaat keuntungan untuk yang menghutangkan hanya karena hutang yang pertama tadi.
Demikianlah hukum arisan yang belum mengalami perubahan dan tambahan-tambahan. Sedangkan arisan-arisan yang berkembang dewasa ini, masih harus diteliti kembali kehalalannya dengan melihat sistem yang dibuat dalam arisan tersebut. Apabila sesuai dengan yang telah dijelaskan hakekatnya maka hukumnya adalah yang sduah dijelaskan diatas. Apabila tidak sesuai maka harus diteliti dan dihukumi sesuai dengan system yang diperlakukan dalam bentuk arisan tersebut.
(Makalah ini disarikan dari buku Jum’iyyah al-Muwadzdzafin (al-Qardh at-Ta’awuni) karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdulaziz Ali Jibrin, hlm 5-56, terbitan Dar alam al-Fawaid, cetakan pertama/Dzulqa’dah 1419H)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]